SEJARAH PEMBENTUKAN
PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG
1. | PENDAHULUAN | |
Pengadilan Tinggi Agama Semarang sebagai salah satu kawal depan Mahkamah Agung mempunyai tugas yang sangat berat, baik yang berkenaan dengan penyiapan sarana dan prasarana pendukung kinerja aparatur Peradilan Agama se-Jawa Tengah maupun yang berkenaan dengan pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia, hal ini sendiri-mata hanya karena kehendak seluruh aparatur Pengadilan Tinggi Agama Semarang dalam rangka meningkatkan kinerja Peradilan Agama se-Jawa Tengah agar mampu memberikan pelayanan prima dan sewajarnya kepada masyarakat pencari keadilan.
Dengan mewilayahi 36 satuan kerja Pengadilan Agama yang terkenal di 36 Kotamadya dan Kabupaten se-Jawa Tengah serta mempunyai 1058 orang pegawai yang masuk dalam pengawasan idealisme. Lebih dari tahun 2009 Pengadilan Tinggi Agama Semarang diangkat menjadi Koordinator Wilayah 4 Lingkungan Peradilan Jawa Tengah yang salah satu tugasnya adalah menjadi penanggung jawab yang bertanggung jawab atas pelaporan Keuangan dan pelaporan Barang Milik Negara yang bermuara pada Laporan Keuangan (LK) masing-masing satuan kerja. |
||
2. | SEJARAH PEMBENTUKAN | |
Sejarah terbentuknya Pengadilan Tinggi Agama Semarang tidak akan melepaskan dari sejarah berdirinya Peradilan pada umumnya dan terbentuknya Mahkamah Islam Tinggi. | ||
a. | Masa Sebelum Penjajahan | |
Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua macam peradilan yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja, sedangkan Peradilan Padu mengurusi perkara-perkara yang bukan urusan raja. Dua macam peradilan tersebut muncul akibat dari pengaruh peradaban Hindu yang masuk ke Indonesia. Hal ini dapat ditelusuri lewat istilah "jaksa" yang berasal dari India. Istilah ini pada waktu itu diberikan kepada Pejabat yang menjalankan pengadilan. Dengan masuknya Agama Islam ke Indonesia pada abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung oleh saudagar-saudagar dari Makkah dan Madinah, maka dalam praktek sehari-hari, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab fiqh, dan hal ini membawa pengaruh kepada tata hukum di Indonesia. Dari catatan sejarah, Sultan Agunglah (Raja Mataram) yang pertama kali mengadakan perubahan di dalam tata hukum di bawah pengaruh Islam. Perubahan ini pertama-tama diwujudkan khusus dalam nama pengadilan, yang semula bernama Pengadilan Pradata diganti dengan Pengadilan Surambi. Begitu juga dengan tempat dan pelaksanaan pengadilan, semula Pengadilan Pradata yang diselenggarakan di Sitinggil dan dilaksanakan oleh Raja, kemudian dialihkan ke serambi masjid agung dengan dilaksanakan oleh para penghulu yang dibantu oleh para alim ulama '. Pada perkembangan berikutnya (pada masa akhir pemerintahan Mataram) muncullah 3 macam pengadilan di daerah Priangan, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Drigama dan Pengadilan Cilaga. Pengadilan Agama mengadili perkara atas dasar hukum Islam, Pengadilan Drigama mengadili perkara berdasarkan hukum Jawa Kuno yang telah disesuaikan dengan adat setempat, dan pengadilan Cilaga adalah Pengadilan Wasit khusus mengenai sengketa perniagaan. Hal ini berlangsung sampai VOC masuk ke Indonesia. | ||
b. | Masa Penjajahan Belanda | |
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa sistem peradilan Islam telah seiring dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, sehingga telah memiliki kedudukan yang kuat dalam masyarakat Indonesia, hal ini terbukti dengan terwujudnya kerajaan Islam diwilayah Nusantara yang melaksanakan hukum Islam dan melembagakannya dalam suatu sistem peradilan yang merupakan Bagian tidak terpisahkan dengan sistem pemerintahan diwilayah kekuasaannya. Sedang daerah yurisdiksi Mahkamah Islam Tinggi berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 adalah termasuk Pengadilan Agama di seluruh Jawa dan Madura, sedangkan daerah luar Jawa dan Madura untuk daerah sekitar Banjarmasin dan Kalimantan Selatan adalah dengan nama Kerapatan Qadi untuk Pengadilan Agama Tingkat Pertama dan Kerapatan Qadi Besar untuk tingkat banding. Untuk daerah Luar Jawa dan Madura lainnya dengan nama Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iah untuk tingkat pertama dan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah Propinsi untuk tingkat banding. Dengan melihat sistem hukum yang telah ada dan berkembang dimasyarakat pada saat itu, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga peradilan bagi masyarakat Islam pada tahun 1938. Pada saat dimulailah babak baru secara resmi struktur Peradilan Agama, yang dibentuknya Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 berdasarkan Surat Gubernur Jenderal Belanda tanggal 12 Nopember 1937 No. 18 dan berkedudukan di Surakarta. Mahkamah Islam Tinggi adakan sidang pertama pada tanggal 7 Maret 1938 dengan susunan persidangan sebagai berikut: iyah Propinsi untuk tingkat banding. Dengan melihat sistem hukum yang telah ada dan berkembang dimasyarakat pada saat itu, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga peradilan bagi masyarakat Islam pada tahun 1938. Pada saat dimulailah babak baru secara resmi struktur Peradilan Agama, yang dibentuknya Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 berdasarkan Surat Gubernur Jenderal Belanda tanggal 12 Nopember 1937 No. 18 dan berkedudukan di Surakarta. Mahkamah Islam Tinggi adakan sidang pertama pada tanggal 7 Maret 1938 dengan susunan persidangan sebagai berikut: iyah Propinsi untuk tingkat banding. Dengan melihat sistem hukum yang telah ada dan berkembang dimasyarakat pada saat itu, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga peradilan bagi masyarakat Islam pada tahun 1938. Pada saat dimulailah babak baru secara resmi struktur Peradilan Agama, yang dibentuknya Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 berdasarkan Surat Gubernur Jenderal Belanda tanggal 12 Nopember 1937 No. 18 dan berkedudukan di Surakarta. Mahkamah Islam Tinggi adakan sidang pertama pada tanggal 7 Maret 1938 dengan susunan persidangan sebagai berikut: Pada saat dimulailah babak baru secara resmi struktur Peradilan Agama, yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 berdasarkan Surat Gubernur Jenderal Belanda tanggal 12 Nopember 1937 No. 18 dan berkedudukan di Surakarta. Mahkamah Islam Tinggi adakan sidang pertama pada tanggal 7 Maret 1938 dengan susunan persidangan sebagai berikut: Pada saat dimulailah babak baru secara resmi struktur Peradilan Agama, yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 berdasarkan Surat Gubernur Jenderal Belanda tanggal 12 Nopember 1937 No. 18 dan berkedudukan di Surakarta. Mahkamah Islam Tinggi adakan sidang pertama pada tanggal 7 Maret 1938 dengan susunan persidangan sebagai berikut:
1. RH Moeh. Isa sebagai Hakim Ketua; |
||
c. | Masa Penjajahan Jepang | |
Pada masa pendudukan Jepang, Mahkamah Islam Tinggi mengalami kesulitan, yaitu pada pertengahan bulan Maret 1942 Mahkamah Islam Tinggi harus ditutup dan tidak diizinkan sidang, begitu juga dengan disegel kantornya, tetapi tidak lama kemudian yaitu tanggal 18 Mei 1942 Mahkamah Islam Tinggi boleh dibuka kembali dengan nama "Kaikyoo Kootoo Hooin" sedang Pengadilan Agama bernama "Sooryo Hooin". | ||
d. | Masa Kemerdekaan | |
Setelah Indonesia merdeka atas usul Menteri Agama yang sudah disetujui oleh Menteri Kehakiman, Pemerintah menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama melalui Penetapan Pemerintah Nomor 5 / SD tanggal 26 Maret 1946. Peraturan sementara yang mengatur tentang Peradilan Agama dalam Verordering tanggal 18 Nopember 1946 dari CCOAMCAB untuk Jawa dan Madura ( Chief Commanding Officer Alied Millitary Administration Civil Affairs Branch ). Sementara itu Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur tetap tunduk pada peraturan lama (Staatsblad 1937 Nomor 610). Sedangkan Mahkamah Islam Tinggi ( Hoof Voor Islamitische Zaken) belum mulai lagi dengan tugasnya. Pada tahun 1948 keluarlah Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Dalam undang-undang pasal pasal kewenangan Pengadilan Agama masuk dalam Pengadilan Umum yang diatur dalam pasal 35 ayat (2), 75 dan pasal 33. Undang-undang ini mengatur tentang peradilan dan sekaligus mencabut serta menyesuaikan isi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang mulai berlaku tanggal 3 Maret 1974. Lahirnya undang-undang ini mendapat reaksi dari berbagai pihak dari ulama Sumatera seperti Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan menolak kehadiran undang-undang tersebut dan undang-undang Mahkamah Syar ' iyah yang sudah ada tetap berjalan. 1. Peradilan Umum; 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Militer; 4. Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya jaminan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut keberadaan Peradilan Agama yang lebih kuat, sehingga pada tahun 1972 berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 1972 terbentuk 4 kantor Pengadilan Agama dan 6 cabang Kantor Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah didalam daerah Propinsi Riau , Jambi, Aceh dan Sumatera Utara. |
||
e. | Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 | |
Pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun peraturan pelaksanaannya diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 68 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam Undang-undang ini adalah: 1. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; 2. Pengadilan Umum bagi lainnya. |
||
f. | Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 | |
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama khususnya lewat pasal 106 Lembaga Peradilan Agama mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Status dan eksistensinya telah pasti, sebab lewat pasal 106 tersebut keberadaan lembaga Peradilan Agama yang dibentuk sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakannya dan disahkan dengan Undang-undang Peradilan ini. Dengan demikian Peradilan Agama menjadi mandiri sesuai dengan peraturan-undangan yang berlaku, dimana ciri-cirinya antara lain hukum acara dilaksanakan dengan baik dan benar, tersier dalam melaksanakan administrasi perkara dan putusan dilaksanakan sendiri oleh pengadilan yang memutus perkara tersebut. | ||
g. | Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 | |
Diawali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan:
|
||
Selama rentang waktu 5 tahun itu Mahkamah Agung membentuk Tim Kerja, untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk perangkat peraturan undangan yang akan membolehkan lebih lanjut, sehingga Peradilan Agama saat ini sedang memerankan eksistensinya setelah berada dalam satu atap kekuasaan kehakiman dibawah Mahkamah Agung dan pasca amandemen Undang -undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
|