Oleh : Ahmad Agus Bahauddin                                                                                                         

Independensi berasal dari bahasa Inggris : independent ; berdiri sendiri ; merdeka ; tidak takluk ; independence ; kemerdekaan.Hakim independen berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasiIslam (pemerintahan teokrasi berdasarkan syariat Islam), seseorang hakim memiliki kewenangan merdeka dalam makna setiap putusan yang diambil bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Al-Quran menetapkan garis hukum :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(QS 4 an-Nisa : 58) ;

Putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Seorang yuris Islam terkenal Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada seorang penguasa apabila ia melanggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan bebas dalam nomokrasi Islam bukan hanya sekedar ciri bagi suatu negara hukum, tetapi ia juga merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim. Peradilan bebas merupakan prasyarat bagi tegaknya keadilan dan persamaan hukum. Hakim memiliki kedudukan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan ia memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihaddalam menegakkan hukum, meskipun bukan ijtihad mutlak. Ketika Muadz bin Jabal diangkat oleh Nabi sebagai Hakim di Yaman, Nabi sebagai Kepala Negara Madinah bertanya kepada Muadz sebelum ia menempati posnya itu, dengan jawaban ia akan melakukan ijtihad apabila tidak terdapat ketentuan dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Prinsip peradilan bebas dalam nomokrasi Islam tidak boleh bertentangan dengan tujuan hukum Islam, jiwa al-Quran dan Sunnah. Dalam melaksanakan prinsip peradilan bebas, hakim wajib memperhatikan pula prinsip amanah yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. Sebelum memutus perkara, hakim wajib bermusyawarah dengan para koleganya agar dapat dicapai putusan seadil-adilnya. Putusan yang adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang bebas (Muhammad Tahir Azhary, 2010, hlm : 144) ;

Sebagai ilustrasi relevan dikemukakan, bahwa sebelum ada konsep Trias Politica Montesquieu, Nabi Sulaiman r.a. telah berfungsi sebagai pembuat hukum, pelaksana hukum, dan hakim tertinggi di kerajaannya. Konon, kasus terkenal yang pernah diputus oleh Hakim Sulaiman ketika ia memerintahkan Algojonya untuk membelah dua tubuh seorang bayi yang diperebutkan oleh dua orang wanita yang ngotot menjadi ibu si bayi. Mendengar perintah itu wanita pertama gembira, agar segera dilaksanakan karena hal itu yang adil. Wanita kedua menangis mohon agar perintah dibatalkan dan mengatakan bahwa sebenarnya ia tadi telah berdusta dan bayi itu adalah anak wanita pertama dan ia rela bayi itu diserahkan kepada wanita pertama. Hakim Sulaiman membatalkan perintahnya dan berkata “berikan bayi itu kepada wanita kedua, dia-lah ibu kandungnya dan serahkan wanita pertama ke penjara, karena dia-lah yang pendusta ;

Bagi hakim Sulaiman, mustahil ibu kandung rela bayinya dipotong menjadi dua, meskipun di masa lalu belum ada undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena itu kembalikan hukum itu kepada roh-nya, kepada akar moralitas dan religiusnya untuk menghasilkan putusan yang adil. Filusuf Taverne mengatakan, “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang buruk sekalipun, saya akan menghasilkan putusan yang adil ;

                Ketika Ali bin Abi Thalib berperkara berlawanan dengan seorang Yahudi, ketika Ali kehilangan baju besinya. Kini telah dikuasai dan dimiliki orang Yahudi tersebut. Perkara itu tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, akhirnya di bawa ke pengadilan. Hakim yang bertugas saat itu bernama Syuraih. Ketika Ali memasuki ruangan sidang, Hakim Syuraih tetap duduk ditempat, meskipun kala itu sebagai Amirul Mukminin, kepala negara, dia tidak menghormat dengan berdiri, sebagaimana layaknya menghormati kepala negara. Hakim Syuraih memperlakukan dua orang yang berpekara itu dengan adil. la bertanya kepada Ali sebagaimana ia bertanya kepada terdakwa. Kala Ali mengklaim bahwa baju besi itu miliknya, hakim meminta kepada Ali mengajukan dua saksi. Alipun menyanggupi. Maka datanglah dua orang saksi yaitu Qanbar pembantunya dan Al Hasan putranya. Hakim menerima kesaksian Qanbar, tetapi tidak menerima kesaksian putranya, Ali berkata “Tidakkah tuan dengar bahwa Umar telah berkata bahwa Rasulullah SAW pernah berkata Al Hasan dan Al Husein adalah pemimpin surga?”.
“Memang benar” jawab hakim Syuraih. “Tidakkah diterima kesaksian pemimpin muda di surga” kata Ali lagi. Namun hakim Syuraih tetap pada putusannya. Kesaksian Hasan ditolak hakim Syuraih kemudian memutuskan bahwa baju itu tetap milik lelaki Yahudi tersebut. Anehnya. ketika putusan itu dibacakan, Ali tidak lagi angkat bicara ia menyerah pasrah, bahkan ia tersenyum puas terhadap putusan hakim, dan berkata: “Sesungguhnya benar hakim syuraih, saya tidak memiliki bukti”.Sekiranya hakim Syuraih tidak kuat mentalnya, tentu ia tidak bisa bersikap tegas dengan mengambil keputusan yang merugikan penguasa, tetapi karena hakim ini memiliki nyali, apapun yang terjadi ia siap menerimanya.(Sumber : Lembar risalah An-Natijah No. 21, Tahun XIII 23 Mei 2008).Seharusnya para hakim mencontoh kenetralan hakim Syuraih ini, siapapun yang berperkara, putuskan secara adil. Tidak peduli pejabat tinggi, bahkan presiden sekalipun, bila salah harus diputus salah ;

Kebebasan hakim di Indonesia(independence of judiciary) tidak mutlak, sebab tugas hakim menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan menafsirkan hukum, mencari dasar-dasar serta asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. (Penjelasan Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009). Hal tersebut berarti kebebasan hakim dibatasi oleh Pancasila, undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh menyimpang dari Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan negara dan bangsa Indonesia, seperti halnya prinsip peradilan bebas dalam nomokrasi Islam tidak boleh bertentangan dengan tujuan hukum Islam, jiwa al-Quran dan Sunnah ;

Independensi hakim berada dalam alam misterius pikiran dan nurani seorang hakim, yang peraturan perundang-undangan sekalipun tidak dapat mendeterminasi mutlak seorang hakim. Dalam proses penyelesaian suatu perkara oleh hakim yang bebas (independence of judge), kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan atas suatu tindakan yustisial hakim dalam proses peradilan, tidak dapat dikoreksi oleh pemerintah secara administratif. Kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan yang bersifat peradilan, hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum dan bukan upaya administratif. Dengan demikian hakim harus bebas dalam menjalankan tugas peradilannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya tindakan baik preventif maupun represif yang bersifat mempengaruhi, terkecuali melalui upaya hukum yang tersedia menurut undang-undang ;

Independensi hakim jaminan tegaknya hukum, keadilan, dan prasyarat terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh dari luar diri Hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan, berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 53) ;

Kebebasan hakim dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya, mulai dari pola pikir maupun tindakannya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yustisialnya. Dengan kata lain, hakim tidak terpengaruh oleh dorongan perilaku internal yang dapat membuatnya harus mengambil putusan yang tidak imparsial dan netral akibat pikiran dan nuraninya tidak lagi mampu berbahasa kejujuran. Dalam menghadapi keadaan demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan tugasnya ;

Dari konsep independensi hakim di atas, dapat diambil pemahaman bahwa kebebasan hakim (independence of judiciary)harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Dalam kaitan inilah kemudian melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) termasuk di dalamnya integritydan transparency, yang dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab hukum (legal responsibility) dan tanggungjawab kemasyarakatan (social responsibility). Dalam kerangka demikian kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep code of conduct berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim, yang keberadaannya terlihat sebagai tuntutan nasional maupun internasional ;

Jika peradilan tidak independen serta kompeten, maka pengadilan tidak akan mampu mewujudkan Hak Asasi Manusia atau hak konstitusinal tersebut yang pada gilirannya akan menyeret tereduksinya Hak Asasi Manusia dan hak konstitusional lainnya yang eksistensinya terus tumbuh dan berkembang. Oleh karena itulah kekuasaan kehakiman dalam konstitusi diamanatkan sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009) ;

Dalam satu khutbahnya Nabi SAW pernah menyampaikan: Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman) tetapi jika yang mencuri orang awam (lemah) maka ditindak atas nama hukum. Demi Dzat dalam jiwaku dalam genggaman-Nya, apabila Fatimah putri Muhammad mencuri, maka akupun akan memotong tangannya(HRBukhari) ;

Tidak mudah untuk melaksanakan dan menegakkan keadilan, banyak hambatan  yang menyebabkan keadilan itu sulit untuk ditegakkan. Sebagaimana dan
sering terjadi keputusan yang tidak terlepas campur tangan dan tekanan orang-orang kuat, rekayasa, upeti dan iming-iming dari pihak-pihak tertentu sudah menjadi hal yang lumrah untuk mempengaruhi satu keputusan. Campur tangan dan tekanan-tekanan dari dalam maupun luar inilah yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan hakim, yang pada akhirnya melemahkan penegakan hukum ;

Penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Namun sejak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice). Pengadilan tidak lebih hanya menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian tidak lagi dapat menyediakan keadilan sebagai trade marknya selama ini. Keadilan telah mati secara dramatis di lembaga-lembaga peradilan di bawah rezim hukum modern. Hukum kemudian dipahami semata sebagai produk dari negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Lembaga peradilan yang semula sebagai house of justice harus berubah menjadi tempat untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dan prosedur. (Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009 : ix) ;

Aib dalam sistem pengembanan hukum kita semakin memprihatinkan. Penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan cara-cara berhukum yang biasa dan konvensional. Kita membutuhkan cara berhukum yang luar biasa pula. Satjipto Rahardjo menawarkan bahwa untuk menghadapi kemelut dalam dunia penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan hukum progresif. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum progresif adalah suatu pekerjaan dengan banyak dimensi, antara lain : Pertama :dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum (hakim, jaksa, advokat, dan lain-lain) yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif. Kedua :Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuwan serta teoritisi hukum Indonesia. Selama lebih kurang seratus tahun mereka telah menjadi murid yang baik dari filsafat hukum liberal. Kini mereka ditantang oleh kebutuhan dan penderitaan bangsanya untuk berani membebaskan diri dari ajaran dan doktrin yang selma ini dijalankan. Penegakan hukum progresif bertolak dari pilar utamanya, yaitu determinasi dan komitmen kuat dari sekalian sub sistem peradilan untuk memerangi korupsi. (Ibid, hlm xii) ;

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. Penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. Hukum tampil apa adanya sesuai dengan realitas sosialnya. (Ibid, hlm xiii) ;

Terdapat pedoman perilaku hakim yang bersifat universal yang dapat dijadikan pedoman, yaitu tentang prinsip-prinsip dasar yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Independensi Pengadilan.(United Nation Basic Principles On The Independence of The Judiciary 1985, dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002) ;

Prinsip “The Bangalore Principles  Judicial Conduct” adalah produk hasil pertemuan para Hakim Agung berbagai Negara yang dihadiri Pelopor Khusus Perserikatan Bangsa Bangsa di The Peace Palace, The Hague, Netherlands.(The Bangalore Principles of Judicial Conduct, November 25 and 26, 2002). Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct disebutkan bahwa keberadaan suatu lembaga peradilan yang kompeten, independen dan netral untuk melindungi hak-hak asasi manusia diberikan afirmasi pada fakta bahwa penerapan segala bentuk hak-hak pada akhirnya bergantung pada pelaksanaan keadilan yang layak. Suatu lembaga peradilan yang kompeten, independen dan netral adalah penting apabila pengadilan-pengadilan melaksanakan peran mereka dalam menegakkan undang-undang dasar dan aturan-aturan hukum lainnya.

Lebih lanjut disebutkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengadilan dan terhadap otoritas moral dan integritas dari lembaga peradilan adalah sangat penting dalam suatu masyarakat demokratis yang modern. Penting sekali para hakim, baik secara individual maupun kolektif, menghargai dan menghormati kekuasaan kehakiman sebagai suatu lembaga kepercayaan masyarakat dan senantiasa berusaha meningkatkan dan mempertahankan kepercayaan kepada sistem peradilan. Tanggungjawab utama untuk meningkatkan dan menjaga standar yang tinggi dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman terletak pada lembaga peradilan di setiap negara ;

Oleh karena itu kekuasaan kehakiman memiliki pedoman perilaku  independensi, netralitas, integritas, kesusilaan, persamaan di depan hukum, serta kompetensinya. Independensi lembaga peradilan adalah prasyarat dari pelaksanaan aturan hukum dan suatu jaminan dasar dari terlaksananya suatu pengadilan yang adil. Karena itu seorang hakim harus menjunjung tinggi dan memberikan contoh pelaksanaan independensi lembaga peradilan baik dalam aspek individual maupun institusional.(Kusnu Goesniadhie, Prinsip Pengawasan Independensi Hakim, Website Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang) ;

Independensi hakim yang demikian indah jika dilaksananakan dengan baik dan benar ini, dinodai bukan saja oleh hakim yang bersangkutan, pemerintah, dipengaruhi pula oleh pola pikir dan tindakan iblis dari luar pengadilan, seperti pengacara, pengusaha, pejabat, pengamat dan orang-orang penting lainnya di negeri ini ketika mereka berurusan dengan hukum di pengadilan. Tidak mungkin hakim bertepuk sebelah tangan tanpa ada yang memulai. Pengaruh pola pikir dan tindakan iblis ini sudah ada sejak Adam diciptakan oleh Allah SWT dimana iblis enggan dan sombong sujud kepada Adam :

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir (QS.2 : al-Baqarah : 34)

Yang menghalangi Iblis tunduk kepada Adam kata iblis adalah iblis lebih baik daripada manusia, iblis diciptakan dari api, sedangkan manusia diciptakan dari tanah, seperti tercantum dalam surat al-A’raf ayat 12 :



Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS  7 Al-A’raf : 12).

Dan juga dalam surat Shad ayat 76 :

Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS 38 Shad : 76).

Inilah kelanjutan Allah mengangkat Khalifah di bumi ini. Adam telah dijadikan dan telah diajarkan kepadanya berbagai nama, dan banyak ilmu yang diberikan kepadanya, yang tidak diberikan kepada Malaikat. Kemudian diperintahkan Allah Malaikat-malaikat itu menyatakan hormat kepada Adam, dengan bersujud.Sebagaimana tersebut beberapa Surat dalam al-Qur'an, seperti Surat al Hajj ayat 18, an- Nahl (S ayat 49, ar-Ra'ad ayat 16, ar- Rahman ayat 6, bahwa seluruh makhluk bersujud kepada Allah, para Malaikat, semua isi langit dan bumi, kekayuan, bahkan bintang di langitpun sujud,Kita manusiapun sujud dan diperintahkan sujud kepada Allah. Bagi kita manusia yang dikatakan sujud itu ialah mencecahkan kening ke bumi, lengkap dengan anggota yang tujuh, yaitu kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki ditambah kepala.Yang jelas dengan sujud itu terkandung sikap hormat dan memuliakan. Allah memerintahkan Malaikat memuliakan Adam dan bersujud cara Malaikat, kecuali iblis. Dia enggan menjalankan perintah Allah itu dan menyombongkan diri, karena memang iblis telah memiliki dasar kekufuran. Allah menjadikannya dari api, sedangkan manusia Adam yang disuruh dia bersujud kepadanya itu dijadikan Tuhan dari tanah ;

Dengan sikap iblis yang sombong itu, mulailah kita mendapat pelajaran bahwasanya Allah mentakdirkan dalam iradat-Nya bahwasanya tanda kekayaan Tuhan itu bukanlah jika Dia menjadikan roh yang baik saja. Disamping yang baikpun dijadikan-Nya yang buruk. Di samping yang patuh dijadikanNya pula yang durhaka. Ini sudah ada sejak dari permulaan. Sehingga bagi Nabi Muhammad s.a.w sendiri yang tengah berjuang menyampaikan seruan Allah seketika ayat ini diturunkan, menjadi pengertian lebih mendalam bahwa keingkaran dan kekufuran penentang-penentang beliau, baik waktu di Mekkah atau waktu di Madinah, sudahlah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan. (HAMKA, Tafsir al-Azhar) ;

                 Dari ayat-ayat al-Quran tersebut di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa iblis dalam mengambil keputusan dan bertindak atas dasar dari mana  asal-usulnya. Iblis menganggap karena dibuat dari api maka tidak perlu sujud kepada manusia yang dibuat dari tanah. Iblis selalu berupaya masuk ke dalam diri manusia dan jin, sesuai dengan janjinya dengan Allah ketika iblis menggelincirkan Adam dari surga sampai akhir zaman. Waspadalah terhadap tipu daya iblis yang mempengaruhi kehidupan manusia dalam segala aspek. Dari aspek keuntungan ekonomis iblis mengajak berlaku korupsi. Dari sisi politik atau kebijakan, iblis membisikkan agar mengangkat atau nenempatkan seseorang dalam suatu jabatan strategis atas dasar golongan, suku, kelompok tanpa memperdulikan kredibilitas dan profesionalitas calon pejabat yang bersangkutan. Dalam kehidupan sosial, iblis mengajak untuk hidup kelompok-kelompok, golongan dengan mengabaikan pluralitas masyarakat setempat, akibatnya satu kelompok dengan kelompok yang lain saling curiga, saling membenci, yang berakhir dengan tawuran antar warga, perang saudara, perbuatan anarkis serta masih banyak peristiwa-peristiwa lainnya. Itu semua pengaruh pola pikir dan tindakan iblis.

 Hakim yang semestinya memutus perkara bebas dari pengaruh internal maupun eksternal, oleh karena telah terpengaruh pola pikir dan tindakan iblis tersebut, timbulah mafia hukum, suap menyuap antara hakim dengan pihak berperkara atau dengan pengacaranya. Hakim tidak berani berlaku adil ketika yang berperkara melibatkan pejabat. Kalangan yudisial maupun pemerintah selama ini telah menegaskan tidak pernah ada campur tangan dalam suatu proses berperkara. Tetapi kenyataan tidak demikian. Bahkan pada saat ini bukan saja eksekutif maupun yudikatif, justeru pengadilan mendapat tekanan dari berbagai pengamat atau publik menghukum atau tidak menghukum seseorang. Demikian pula campur tangan mereka yang berperkara yang selalu perkaranya ingin dimenangkan. Justeru hal yang kurang mendapat perhatian pengamat adalah kekurangpatuhan aparatur pemerintah melaksanakan putusan hakim, seperti dalam perkara-perkara tata usaha negara. Berdasarkan penelitian yang dibuat untuk sebuah disertasi, cukup banyak putusan pengadilan tata usaha negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dilaksanakan pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. (Bagir Manan, 2005 : 76 ; Irvan, disertasi, UNPAD, 2003). Sedangkan kepatuhan pejabat tata usaha negara terhadap putusan hakim merupakan salah satu aspek partisipasi dan tanggung jawab yang diperlukan dalam suatu good governance. Wallahu A’lam Bissawab

splash