KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN MEDIASI DITINJAU DARI ASAS SEDERHANA,CEPAT DAN BIAYA RINGAN
Oleh : Sarwohadi PTA Semarang
Pendahuluan
Bagi seseorang yang sedang sebagai pihak yang berperkara di Pengadilan tentunya mempunyai perasaan galau, gundah dan gelisah membuat pikiran tak menentu dikarenakan hari demi hari waktu ke waktu hanya untuk memikirkan perkaranya yang tidak diketahui secara pasti kapan perkaranya dapat selesai, belum waktu yang begitu panjang, biaya yang begitu banyak sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran yang sangat menghambat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain.
Dengan latar belakang itulah Penulis merasa perlu menulis artikel sebagaimana judul tulisan di atas, Penulis mempunyai harapan yang begitu besar dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mewajibkan bagi para Hakim sebelum memutus perkara wajib mengupayakan perdamaian dan mediasi kepada kedua pihak, dan Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun peraturan-peraturan tersebut antara lain:
- HIR Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah memerintahkan Ketua sidang berusaha mendamaikan kedua pihak;
- SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg;
- PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
- PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
- PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
- Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman;
lahirnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi yang merupakan pembaharuan dan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008 dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 2003, adalah sebagai bentuk konsentnya Mahkamah Agung RI sebagai puncak tertinggi lembaga peradilan di Indonesia yang mewajibkan peradilan di bawahnya yang bertugas menerima, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara bagi pihak-pihak yang sedang berperkara/bersengketa untuk didamaikan dan dimediasi, dengan selalu mengupayakan agar pihak-pihak yang sedang berperkara dapat menyelesaikan perkaranya dengan win-win solution (perdamaian sama-sama untung), bahkan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 3 ayat (3) ada ancaman bagi Hakim yang memutus perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk menempuh Mediasi sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Mediasi di Pengadilan. Kemudian Pasal 3 ayat (4) dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila diajukan upaya hukum maka Pengadilan Tingkat Banding atau Mahkamah Agung dengan putusan sela memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama untuk melakukan proses Mediasi.
Mahkamah Agung RI sangat memahami kondisi seseorang atau pihak yang sedang berperkara di muka pengadilan sebagaimana telah disinggung oleh Penulis di atas, setidaknya telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Agung tentang Mediasi sebanyak 4 kali, Sema dan Perma tentang mediasi tersebut sangat sejalan dengan peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yakni : Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 dan diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 4 ayat (2) “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”. Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dalam Pasal 57 ayat (3) ”Peradilan dilakukan dengan sederhana cepat, dan biaya ringan, Pasal 58 ayat (2) “ Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”;
Apabila kita memperhatikan isi dari pasal-pasal tersebut di atas dengan secara sungguh-sungguh terdapat kata kunci antara lain :
- Pengadilan dilakukan dengan sederhana ;
- Biaya ringan;
- Cepat;
- Pengadilan membantu para pencari keadilan;
- Berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan;
- Untuk mencapai peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan;
Isi dan makna serta pesan dari semangat pasal-pasal tersebut ditujukan kepada pengadilan yang tidak lain adalah Hakim, Panitera dan Jurusita, namun yang paling utama adalah kepada para Hakim yang menerima, memeriksa, mengadili dan yang akan menjatuhkan putusan. Jadi di pundak para hakim lah pengadilan itu dapat berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, bukannya proses persidangan yang berbelit-belit, memakan waktu yang begitu lama, sehingga menghabiskan biaya yang begitu mahal.
Pembahasan
- Dasar Hukum Mediasi
- HIR Pasal 130 / Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian;
- Pasal 82 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg;
- PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
- PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
- PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
- Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman ;
- Pengertian Mediasi:
Pengertian Mediasi yang dibahas dalam tulisan ini adalah mediasi dalam persidangan yang merupakan bagian dari pengembangan tahapan perdamaian, sebagai kewajiban Hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara yang diatur dalam hukum acara perdata sebagaimana dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg.dan pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 serta perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 “Hakim Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak”. Apabila Hakim mengabaikan tidak mendamaikan para pihak, maka telah melanggar hukum acara perdata, putusannya dapat dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Kewajiban Hakim mendamaikan para pihak sebagaimana perintah undang-undang tersebut di atas agar lebih mendapatkan hasil yang maksimal lahirlah Peraturan Mahkamah Agung tentang mediasi.
Pembuat undang-undang yakni DPR dan Pemerintah, dan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi di bidang pelaksanaan dan pengawasan jalannya peradilan tentunya mengetahui betul bahwa proses seseorang untuk menyelesaikan perkaranya di pengadilan, jika tidak tercapai perdamaian, maka penyelesaian perkara akan memakan waktu yang sangat lama, apalagi jika salah satu pihaknya tidak menerima putusan hakim, mereka berupaya mengajukan banding, mengajukan kasasi bahkan mengajukan Peninjauan Kembali, maka mengingat hal yang demikian untuk menghindari itu satu-satunya diusahakan agar kedua belah pihak dapat mengakiri sengketa dengan cara damai, untuk dapat tercapainya perdamaian, maka harus mengoptimalkan dan memaksimalkan mediasi.
Sebagai seorang Hakim, tentunya sangat berbahagia jika para pihak berhasil didamaikan di dalam ruang persidangan, sehingga perkaranya akan cepat selesai dan tidak berlarut-larut dan segera memberikan kepastian hukum terhadap objek yang disengketakan, para pihak segera mendapatkan rasa keadilan karena dicapai dengan secara damai dan para pihak segera dapat merasakan kemanfaatan dari produk putusan perdamaian dari Hakim tersebut;
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan Penulis yang saat ini sebagai Hakim yang selalu memeriksa perkara-perkara yang diajukan banding oleh para pihak yang merasa tidak puas dengan putusan Hakim tingkat pertama yang dianggapnya putusan Hakim tidak memihak pada dirinya, maka dapat dilihat bahwa faktor yang mempengaruhi ketidak puasan para pihak tersebut salah satunya karena kegagalan mediasi dalam upaya perdamaian yang dilakukan oleh Mediator.
Pengertian Asas sederhana, cepat dan biaya ringan
- Asas sederhana, artinya caranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, dengan penerapan hukum yang pasti, apa yang sudah sederhana jangan sengaja dipersulit bahkan cenderung berbelit-belit.
- Asas cepat, artinya waktu penyelesaian singkat, dan segera tidak terlalu lama, namun tidak mengurangi ketepatan pemeriksaan dan tidak mengurangi nilai-nilai keadilan.
- .Asas biaya ringan, artinya biaya yang dikeluarkan hanya untuk keperluan proses penyelesaian perkara dan bukan ada biaya yang lain.
Asas-asas tersebut terdapat dalam Peraturan perundang-undangan sebagai berikut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KekuasaanKehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dalam Pasal 4 ayat (2) “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biayaringan”.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dalam Pasal 57 ayat (3) ”Peradilan dilakukan dengan sederhana cepat, dan biaya ringan “.Pasal 58 ayat (2) “ Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Faktor-faktor keberhasilan mediasi:
Keberhasilan mediasi terdiri dari beberapa faktor :
- Faktor internal, adalah Faktor dari para pihak, yang pertama harus adanya kemauan dan itikad baik dari kedua pihak untuk bersedia dimediasi, karena adanya iktikad baik dari para pihak untuk melakukan mediasi, ada niat yang sama antara kedua pihak untuk mencapai perdamaian. Ketentuan ini sudah diatur dengan Pasal 12 PERMA No. 1 Tahun 2008. Prinsip iktikad baik ini dapat menjadi tolok ukur bagi para pihak yang bersengketa untuk meneruskan atau tidak meneruskan menempuh perdamaian melalui jalan mediasi di Pengadilan. Itikad baik dari kedua pihak dapat terjadi bilamana sama-sama diuntungkan tanpa adanya pihak yang dirugikan, pihak yang merasa dirugikan rela diminta untuk sedikit mengalah, sedang pihak yang merasa merugikan dapat diringankan dari beban yang harus ditunaikan, ini yang disebut win-win solution.
- Faktor eksternal yang berasal dari Mediator, Hakim, pihak ketiga dan keluarga:
- Mediator, kemampuan seorang mediator harus dapat menguasai teknik-teknik dan ketrampilan, strategi mendinginkan suasana dengan memperbaiki arus komunikasi, menawarkan opsi-opsi, menghindari kebuntuan, dan menurunkan ekspektasi yang terlalu tinggi, untuk itu menjadi seorang mediator haruslah dari orang-orang yang telah terseleksi kemampuan dan kelayakannya sebagai mediator baik mediator dari Hakim maupun mediator dari non hakim atau dengan kata lain mediator yang bersertipikat dari Mahkamah Agung.
- Hakim, hakim yang menyidangkan perkara hendaknya selalu taat dan patuh terhadap tahapan persidangan yakni tahap usaha perdamaian sebelum gugatan dibacakan oleh Hakim dan setiap saat mulai persidangan selalu mengusahakan para pihak untuk berdamai dengan membuat kesepakatan-kesepakatan dalam bentuk isi perdamaian;
- Pihak ketiga, pihak ketiga dapat terdiri dari seorang yang ahli berproffesi sebagai mediator yang bersertipikat dan mempunyai pandangan yang luas, seorang yang berpengaruh serta mempunyai kewibawaan dan yang telah dikenal dalam masyarakat, (Sesuai isi dengan Pasal 16 PERMA No. 1 Tahun 2008).
- Pihak keluarga, misalnya dalam kasus perceraian pihak keluarga dari pihak yang berperkara sangatlah tepat dijadikan mediator, karena keluarga dianggap yang lebih mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi oleh para pihak yang berperkara.
- Faktor keuntungan mediasi:
- Dalam proses melaksanakan mediasi, mediator tidak terpaku kepada isi posita dan petitum gugatan, dengan demikian ruang lingkup mediasi bisa lebih luas dari pada isi gugatan. Untuk kesepakatan di luar posita dan petitum, Penggugat merubah gugatan dengan memasukkan kesepakatan tersebut dalam gugatan.
- Dalam proses mediasi, keterlibatan pihak luar juga diperbolehkan dengan ketentuan atas kesepakatan Para Pihak, mediator dapat menghadirkan ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat.
- Dalam pengambilan keputusan Para Pihak terlebih dahulu harus ada kesepakatan tentang mengikat atau tidaknya penjelasan atau penilai ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat tersebut.
- Faktor Kegagalan Mediasi
- Waktu :
Apabila Permasalahan pokok yang menjadi sengketa sudah mengendap terlalu lama, semakin lama sengketa tidak segera diselesaikan maka tingkat kesulitan yang dihadapi mediatorpun untuk membantu mencari titik temu juga semakin berat dan semakin rumit, sehingga penyelesaian untuk di bawa dengan cara mediasi sangat sulit, sebaliknya jika penyelesaian ini ditempuh lebih awal sebelum keadaan menjadi rumit, kemungkinan kasus itu mudah diselesaikan, melalui mediasi;
- Para pihak yang bersengketa, para pihak yang bersengketa cepat menyerah saat proses mediasi dilakukan, sehingga proses negosiasi yang dilakukan tidak maksimal lantaran mereka punya pikiran untuk menyudahi segera proses mediasi dan kembali menyerahkan perkaranya kepada putusan Hakim, yang demikian dapat dimaklumi biasanya pihak-pihak yang sudah membawa permasalahannya di pengadilan mudah tersulut emosi, sehingga sangat sulit untuk diajak kompromi.
- Kerugian kegagalan mediasi :
- Kegagalan mediasi akan menyebabkan perkara-perkara di Pengadilan akan semakin banyak dan setiap tahun sisa perkara akan menumpuk.
- Perkara yang tidak bisa diselesaikan dengan mediasi maka penyelesaiannya akan berlarut-larut.
- Penyelesaian perkaranya tidak dapat diprediksi kapan akan selesai, sebab masih banyak kemungkinan adanya upaya hukum banding, Kasasi dan peninjauan kembali;
- Merusak hubungan silaturahmi kedua pihak, hubungan kemitraan kerja usaha, dan hubungan kekeluargaan dan lainnya;
- Kehilangan waktu, pikiran dan biaya yang begitu banyak;
- Keuntungan keberhasilan mediasi:
- Masih tetap terjaga hubungan silaturrahmi, hubungan baik masih dapat dilanjutkan karena tidak meninggalkan kesan menang-kalah dimana para pihak bekerjasama secara kooperatif untuk menyelesaikan sengketa. Hal ini lebih menguntungkan bagi hubungan keperdataan jangka panjang maupun hubungan kekeluargaan.
- Menghemat waktu, dan biaya, jika bisa menyelesaikannya perkaranya dengan mediasi.
- Mengakomodasi jalan tengah kebutuhan kepentingan - kepentingan masing-masing pihak, berbeda dengan litigasi yang menyerahkan kepada putusan Majelis Hakim yang akan memutus perkaranya.
- Bahwa kesepakatan dalam mediasi dibuat sendiri oleh para pihak. Tidak ada putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim, sepenuhnya dikendalikan oleh partisipasi para pihak.
- Para pihak dapat mengendalikan keseluruhan proses mediasi, sementara dalam litigasi para pihak hanya mendengarkan keputusan Majelis Hakim;
- Kesimpulan :
Dari uraian tersebut di atas Penulis telah menguraikan panjang lebar tentang mediasi, dasar hukum mediasi, pengertian mediasi, Asas sederhana, cepat dan biaya ringan, faktor keberhasilan mediasi, faktor kegagalan mediasi, faktor keuntungan mediasi, faktor kerugian mediasi, kewajiban Hakim untuk melaksanakan mediasi dalam setiap menangani perkara, melaksanakan prosedur mediasi, dan dapat dipahami bahwa, mediasi merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diterapkan oleh Hakim dalam menyelesaikan sengketa agar dapat diselesaikan secara damai, untuk tercapainya asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta untuk menghindari terjadinya penumpukan perkara penyelesaian perkara yang berlarut-larut, namun pada kenyataannya walaupun Mahkamah Agung beserta jajaran Pengadilan di bawahnya telah berupaya sedemikin rupa belum membawa hasil yang signifikan, berdasarkan data/informasi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang Kumdil) Mahkamah Agung mengatakan bahwa data mediasi di persidangan yang berhasil secara nasional tidak sampai 4%. Mediasi yang diharapkan menjadi solusi alternatif ternyata .keberhasilan perkara yang dapat dimediasi secara nasional hanya 4 % hal ini bisa dimaklum memang tidak mudah untuk mendamaikan hati dua orang yang sedang berseberangan. Untuk itu sebagai Hakim terus kita berusaha mengupayakan kedua pihak yang sedang bersengketa untuk menuju perdamaian.
- Saran – Saran :
- Perlu peningkatan pengadaan Mediator dari Hakim dan dari luar Pengadilan Agama secara selektif, dan sertipikatf.
- Perlu adanya Reward bagi Hakim yang berhasil memediasi para pihak yang berperkara dengan memberikan promosi yang sepantasnya;
- Memberi kemudahan bagi pihak yang menempuh mediasi dengan cara tidak memungut biaya mediasi dll.
- Penutup :
Bagi hakim yang ditunjuk sebagai mediator harus sungguh-sungguh, agar penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang berpekara dapat dilaksanakan dengan jalan damai berdasarkan kesepakatan para pihak, jika perkara dapat dimediasi dan berhasil mencapai kesepakatan, maka tercapailah asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam penyelesaian perkara di Pengadilan. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi teman-teman hakim, mediasi tidak saja formalistis sekedar memenuhi amanat peraturan perundang-undangan, tetapi secara sungguh-sungguh agar dapat dirasakan kebaikannya untuk masyarakat pencari keadilan.